A. PENGERTIAN
Benigna prostat hipertropi adalah hiperplasia
kelenjar peri urethral yang merusak jaringan prostat yang asli ke perifer dan
menjadi simpai bedah (Mansjoer, Suprohaita, Wardhani & Setiowulan, 2000,
hal 329).
BPH adalah kondisi patologis yang paling umum
pada pria lanjut usia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi
medis pada pria diatas usia 60 tahun (Smeltzer, 2001, hal 671).
\
B. ETIOLOGI
Penyebab BPH belum jelas namun terdapat
faktor resiko umur dan hormon androgen (Mansjoer, 2000, hal 329).
Ada beberapa hipotesis yang menyebutkan bahwa
hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar Dehidrotestosteron
(DHT) dan proses aging (menjadi tua).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai
penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah:
1.
|
2. Peranan
dari growth faktor sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat
3. Meningkatnya
lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati
4. Teori
sel steam menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel steam sehingga
menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi
berlebihan (Poernomo, 2000, hal 74-75).
C. PATOFISIOLOGI
Proses pembesaran prostat terjadi secara
perlahan-lahan seiring dengan bertambahnya usia sehingga terjadi perubahan
keseimbangan hormonal yaitu terjadi reduksi testosteron menjadi Dehidrotestosteron
dalam sel prostat yang kemudian menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT ke
dalam inti sel. Hal ini dapat menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga
menyebabkan terjadinya sintesis protein yang kemudian menjadi hiperplasia
kelenjar prostat (Mansjoer, 2000 hal 329; Poernomo, 2000 hal 74).
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran
prostat, maka akan terjadi penyempitan lumen uretra prostatika dan akan
menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intra
vesikel. Untuk dapat mengeluarkan urine buli-buli harus berkontraksi lebih kuat
guna melawan tahanan tersebut, sehingga akan terjadi resistensi pada buli-buli
dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan meregang sehingga
timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase
kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensi urine (Mansjoer, 2000, hal 329; Poernomo, 2000 hal 76).
Tekanan intravesikel yang tinggi akan diteruskan
ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan
pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli
ke ureter atau terjadi refluks-vesiko ureter. Keadaan ini jika berlangsung
terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis bahkan akhirnya dapat
terjadi gagal ginjal (Poernomo, 2000, hal 76).
E. MANIFESTASI
KLINIS
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan
pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih.
1. Keluhan
pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower
Urinari Tract Symptoms (LUTS) terdiri atas gejala iritatif dan gejala
obstruktif.
Gejala iritatif yaitu sering miksi
(frekuensi) terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin
miksi yang sangat mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria).
Gejala obstruktif meliputi: pancaran lemak,
rasa tidak lampias sehabis miksi, kalau miksi harus menunggu lama (hesitancy),
harus mengejan (straining) anyang-anyangen (intermittency) dan waktu miksi yang
memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan inkontinensia karena
overflow.
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan
saluran kemih sebelah bawah, beberapa ahli urology membuat sistem scoring yang secara
subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien.
2. Gejala
pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat
pada saluran kemih bagian atas, berupa gejala obstruksi antara lain: nyeri
pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), yang
selanjutnya dapat menjadi gagal ginjal dapat ditemukan uremia, peningkatan
tekanan darah, perikarditis, foetoruremik dan neuropati perifer.
3. Gejala
di luar saluran kemih
Pasien yang berobat ke dokter biasanya
mengeluh adanya hernia inguinalis dan hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini
karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan
tekanan intra abdominal (Poernomo, 2000, hal 77 – 78; Mansjoer, 2000, hal 330).
Menurut Long (1996, hal. 339-340), pada
pasien post operasi BPH, mempunyai tanda dan gejala:
1. Hemorogi
a. Hematuri
b. Peningkatan
nadi
c. Tekanan
darah menurun
d. Gelisah
e. Kulit
lembab
f. Temperatur
dingin
2. Tidak
mampu berkemih setelah kateter diangkat
3. Gejala-gejala
intoksikasi air secara dini:
a. bingung
b. agitasi
c. kulit
lembab
d. anoreksia
e. mual
f. muntah
4. warna
urin merah cerah, pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi lebih tua.
F. PEMERIKSAAN
PENUNJANG
1. Pemeriksaan
Laboratorium
Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopik
urine penting untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari
fungsi ginjal dan fungsi metabolik.
Pemeriksaan prostate specific Antigen (PSA)
dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini
keganasan.
2. Pemeriksaan
Radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto
polos abdomen, pielografi intravena, USG dan sistoskopi. Tujuan pemeriksaan
pencitraan ini adalah untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat
disfungsi buli-buli dan volume residu urine. Dari foto polos dapat dilihat
adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal dan buli-buli. Dari
pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,
hidronefrosis dan hidroureter.
3. Pemeriksaan
Uroflowmetri dan Colok Dubur
a. Uroflowmetri
Untuk
mengetahui derajat obstruksi, yaitu dengan mengukur pancaran urine pada waktu
miksi. Kecepatan aliran urine dipengaruhi oleh kekuatan kontraksi detrusor,
tekanan intra buli-buli, dan tahanan uretra.
b. Colok
Dubur
Pada
perabaan colok dubur, harus diperhatikan konsistensi prostat (biasanya kenyal),
adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas teraba (Mansjoer,
2000, hal 332).
G. PENATALAKSANAAN
Menurut Mansjoer (2000, hal 333):
1. Observasi
(Watchfull Waiting)
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan
ringan, nasehat yang diberikan yaitu mengurangi minum setelah makan malam untuk
mengurangi nocturia, menghindari obat-obatan dekongestan, mengurangi minum kopi
dan tidak diperbolehkan minum alkohol.
2. Terapi
medikamentosa
a. Penghambat
adrenergic alfa, contoh: prazosin, doxazosin, terazosin, afluzosin.
b. Penghambat
enzim 5 alfa reduktasi, contoh: firasterid (proscar).
c. Fitoterapi
Pengobatan
fototerapi yang ada di Indonesia antara lain: eviprostat. Substansinya misalnya
pygeum africanum, sawpalmetto, serenoa repelus.
3. Terapi
bedah
a. TURP
b. TUIP
c. Prostatektomi
terbuka
4. Terapi
invasif minimal
a. TUMT
(Trans Urethral Micro web Thermotherapy)
b. Dilatasi
balon trans uretra (TUBD)
c. High
Intensity Focus Ultrasound
d. Ablasi
jarum trans uretra
e. Stent
Prostat
H. FOKUS
KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Dalam melakukan pengkajian ini penulis
menggunakan teori konseptual menurut GORDON dengan 11 pola kesehatan fungsional
sesuai dengan post operasi benigna prostat hipertrophy.
a. Pola
persepsi kesehatan dan management kesehatan
Menggambarkan
pola pikir kesehatan pasien, keadaan sehat dan bagaimana memelihara kondisi
kesehatan. Termasuk persepsi individu tentang status dan riwayat kesehatan,
hubungannya dengan aktivitas dan rencana yang akan datang serta usaha-usaha
preventif yang dilakukan pasien untuk menjaga kesehatannya.
b. Pola
Nutrisi – Metabolik
Mengambarkan
pola konsumsi makanan dan cairan untuk kebutuhan metabolik dan suplai nutrisi,
kualitas makanan setiap harinya, kebiasaan makan dan makanan yang disukai
maupun penggunaan vitamin tambahan. Keadaan kulit, rambut, kuku, membran
mukosa, gigi, suhu, BB, TB, juga kemampuan penyembuhan.
c. Pola
Eliminasi
Yang
menggambarkan:
1) pola
defekasi (warna, kuantitas, dll)
2) penggunaan
alat-alat bantu
3) penggunaan
obat-obatan.
d. Pola
Aktivitas
1) pola
aktivitas, latihan dan rekreasi
2) pembatasan
gerak
3) alat
bantu yang dipakai, posisi tubuhnya.
e. Pola
Istirahat – Tidur
Yang
menggambarkan:
1) Pola
tidur dan istirahat
2) Persepsi,
kualitas, kuantitas
3) Penggunaan
obat-obatan.
f. Pola
Kognitif – Perseptual
1) Penghilatan,
pendengaran, rasa, bau, sentuhan
2) Kemampuan
bahasa
3) Kemampuan
membuat keputusan
4) Ingatan
5) Ketidaknyamanan
dan kenyamanan
g. Pola
persepsi dan konsep diri
Yang
menggambarkan:
1) Body
image
2) Identitas
diri
3) Harga
diri
4) Peran
diri
5) Ideal
diri.
h. Pola
peran – hubungan sosial
Yang
menggambarkan:
1) Pola
hubungan keluarga dan masyarakat
2) Masalah
keluarga dan masyarakat
3) Peran
tanggung jawab.
i. Pola
koping toleransi stress
Yang
menggambarkan:
1) Penyebab
stress
2) Kemampuan
mengendalikan stress
3) Pengetahuan
tentang toleransi stress
4) Tingkat
toleransi stress
5) Strategi
menghadapi stress.
j. Pola
seksual dan reproduksi
Yang
menggambarkan:
1) Masalah
seksual
2) Pendidikan
seksual.
k. Pola
nilai dan kepercayaan
Yang
menggambarkan:
1) Perkembangan
moral, perilaku dan keyakinan
2) Realisasi
dalam kesehariannya.
2. Fokus
Intervensi
a. Perubahan
eliminasi urine; retensi berhubungan dengan obstruksi mekanikal; bekuan darah,
trauma, prosedur bedah tekanan dan iritasi kateter (Doengoes, 2000, hal 679)
Kriteria
hasil: Berkemih dengan jumlah normal tanpa retensi.
Rencana
intervensi:
1) Kaji
haluaran urine dan sistem drainase, khususnya selama irigasi kandung kemih
Rasional : Retensi
bisa terjadi karena oedema area bedah, bekuan darah dan spasme kandung kemih.
2) Bantu
pasien memilih posisi normal untuk berkemih
Rasional : Mendorong
pasase urine dan meningkatkan rasa normalitas.
3) Perhatikan
waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah kateter dilepas
Rasional : Kateter
biasanya dilepas 5 hari setelah bedah, tetapi berkemih dapat berlanjut menjadi
masalah untuk beberapa waktu karena oedema urethral dan kehilangan tonus.
4) Dorong
masukan cairan 3.000 ml sesuai toleransi, batasi cairan pada malam hari,
setelah kateter dilepas
Rasional : Mengurangi
resiko bekuan akibat adanya perdarahan sekunder, pemasangan kateter,
mengevakuasi residu urine akibat sumbatan bekuan darah.
5) Kolaborasi:
pertahankan irigasi kandung kemih kontinyu sesuai indikasi pada periode paska
operasi dini
Rasional : Mencuci
kandung kemih dari bekuan darah untuk mempertahankan patensi dan aliran
kateter.
b. Resiko
tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan area bedah;
kesulitan mengontrol perdarahan, pembatasan pemasukan (Doengoes, 2000, hal 680)
Kriteria
hasil: mempertahankan hidrasi adekuat, dibuktikan oleh tanda vital stabil,
menunjukkan tidak ada perdarahan aktif.
Rencana
intervensi:
1) Benamkan
kateter, hindari manipulasi berlebihan
Rasional : Gerakan
atau penarikan kateter dapat mengakibatkan perdarahan atau pembentukan bekuan
dan pembenaman kateter pada distensi kandung kemih.
2) Awasi
pemasukan dan pengeluaran
Rasional : Indikator
keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian pada irigasi kandung kemih, awasi
pentingnya perkiraan kehilangan darah dan secara akurat mengkaji haluaran
urine.
3) Observasi
drainase kateter, perhatikan perdarahan berlebihan atau berlanjut
Rasional : Perdarahan
tidak umum terjadi selama 24 jam pertama tapi perlu pendekatan perineal.
Perdarahan kontinyu atau berat memerlukan intervensi.
4) Evaluasi
warna dan konsistensi urine
Rasional : Biasanya
mengindikasikan perdarahan arterial dan memerlukan terapi cepat.
5) Inspeksi
balutan atau luka drain
Rasional : Perdarahan
dapat dibuktikan dengan atau disingkirkan dalam jaringan perineum.
6) Awasi
tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan tekanan
darah, diaporesis, membran mukosa kering dan pucat
Rasional : Dehidrasi
dan hipovolemik memerlukan intervensi cepat untuk mencegah terjadinya syok.
7) Dorong
pemasukan cairan 3.000 ml/hari kecuali kontra indikasi
Rasional : Membilas
ginjal atau kandung kemih dari bakteri dan debris tetapi dapat mengakibatkan
intoksikasi cairan bila tidak diawasi dengan ketat.
8) Kolaborasi:
pertahankan traksi kateter menetap dan kendorkan dalam 4 – 5 jam, catat periode
pemasangan dan pengendoran traksi
Rasional : Traksi berisi
balon 30 cc, diposisikan pada fosa urethral prostat akan membuat tekanan pada
aliran darah pada kapsul prostat membantu mencegah atau mengontrol perdarahan.
9) Berikan
pelunak feses, laxatif sesuai indikasi
Rasional : Pencegahan
konstipasi dan mengejan dan defekasi menurunkan resiko perdarahan rectal
perineal.
c. Resiko
tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, kateter, trauma
jaringan, insisi bedah (Doengoes, 2000, hal 682)
Kriteria
hasil: mencapai waktu penyembuhan ditandai dengan tidak mengalami infeksi.
Rencana
tindakan:
1) Pertahankan
sistem kateter steril, berikan perawatan kateter reguler
Rasional : Mencegah
pemasukan bakteri dan infeksi lanjut.
2) Awasi
tanda vital, perhatikan demam ringan, menggigil, nadi dan pernapasan cepat,
gelisah
Rasional : Pasien yang
mengalami TUR Prostat beresiko untuk syok bedah sehubungan dengan manipulasi
atau instrumentasi.
3) Ganti
balutan dengan sering (insisi suprapubik/retropubik dan perineal)
Rasional : Balutan
basah menyebabkan kulit iritasi dan memberikan media untuk pertumbuhan bakteri,
peningkatan resiko infeksi luka.
4) Observasi
drainase dari luka, sekitar kateter suprapubik
Rasional : Adanya drain,
insisi suprapubik meningkatkan resiko untuk infeksi, yang diindikasikan dengan
eritema, drainase purulen.
5) Kolaborasi:
pemberian antibiotik sesuai indikasi
Rasional : Mungkin
diberikan secara profilaksis sehubungan dengan peningkatan resiko pada
prostatektomi
d. Nyeri
akut berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih; refleks spasme otot
sehubungan dengan prosedur bedah dan atau tekanan dari balon kandung kemih
(traksi) (Doengoes, 2000, hal 683)
Kriteria
hasil: menunjukkan nyeri hilang atau terkontrol ditandai dengan menunjukkan
relaksasi, pasien tampak rileks atau istirahat dengan tepat.
Rencana
intervensi:
1) Kaji
nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0 – 10)
Rasional : Nyeri tajam
dan intermiten menunjukkan adanya spasme kandung kemih.
2) Pertahankan
patensi kateter dan sistem drainase dan pertahankan selang bebas dari bekuan
dan lekukan
Rasional : Mempertahankan
fungsi kateter dan drainase sistem menurunkan resiko distensi dan spasme
kandung kemih.
3) Berikan
tindakan kenyamanan dan aktivitas terapeutik, dorong penggunaan teknik
relaksasi
Rasional : Menurunkan
tegangan otot, memfokuskan lagi perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan
koping.
4) Kolaborasi
pemberian analgetik/antispasmodik
Rasional : Mengurangi,
dan merilekskan otot yang mengalami spasme.
e. Resiko
tinggi terhadap perubahan nutrisi; kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan peningkatan kebutuhan protein dan vitamin untuk penyembuhan luka dan
penurunan masukan sekunder terhadap nyeri, mual, dan pembatasan diit
(Capernito, 2000, hal 485)
Kriteria
hasil: menunjukkan masukan nutrisi dengan nilai gizi yang mencukupi serat,
protein, vitamin dan mineral.
Rencana
intervensi:
1) Jelaskan
pentingnya masukan nutrisi harian yang optimal
Rasional : Dengan dukungan
kebutuhan nutrisi yang adekuat membantu proses penyembuhan luka.
2) Pantau
status hipermetabolisme
Rasional : Adanya riwayat
penyakit diabetes akan menjadi penyulit untuk proses penyembuhan luka.
3) Evaluasi
kemungkinan penyebab mual
Rasional : Adanya mual
akan menghambat masukan nutrisi yang adekuat.
4) Pertahankan
kebersihan gigi dan mulut, berikan perawatan mulut yang mendukung
Rasional : Kebersihan
gigi dan mulut membantu memelihara dan dapat meningkatkan nafsu makan yang
baik.
5) Berikan
alternatif makanan sesuai kondisi pasien
Rasional : Variasi
jenis makanan dan sajian menghindari kejenuhan yang mengakibatkan
ketidakcukupan masukan peroral.
6) Anjurkan
untuk menghindari berbaring datar selama sedikitnya 1 – 2 jam setelah makan
Rasional : Gravitasi
membantu penurunan isi usus sehingga menghindarkan perasaan penuh dan mual.
7) Berikan
anti emetik sebelum makan bila diindikasikan
Rasional : Pemberian
anti emetik mencegah terjadinya mual akibat efek anastesi dan penyebab lainnya.
f. Resiko
tinggi terhadap konstipasi kolonik berhubungan dengan penurunan peristaltik
sekunder terhadap anastesi, imobilisasi dan obat nyeri (Carpenito, 2000, hal
485)
Kriteria
hasil:
Eliminasi
efektif pasca operasi
Rencana
intervensi:
1) Kaji
bising usus
Rasional : Peristaltik
yang tidak normal meningkatkan resiko konstipasi.
2) Anjurkan
mobilisasi sesuai kondisi
Rasional : Mobilisasi
meningkatkan kembalinya fungsi normal usus.
3) Tingkatkan
faktor yang mempengaruhi eliminasi dengan diit seimbang, masukan cairan
adekuat, posisi yang tepat.
Rasional : Diit yang
seimbang mencegah terjadinya kekurangan pengisian usus akibat kurang residu.
4) Kolaborasi
dokter bila dalam tiga hari paska operasi tidak terjadi eliminasi dengan
pemberian laxatif
Rasional : Bila lebih
dari 3 hari tidak defekasi, dapat meningkatkan terjadinya resiko perdarahan
akibat peningkatan tekanan intra abdomen.
g. Resiko
tinggi terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan situasi krisis, inkontinensia,
kebocoran urine setelah pengangkatan kateter, keterlibatan area genital
(Doengoes, 2000, hal 683)
Kriteria
hasil: menyatakan pemahaman situasi individu.
Rencana
intervensi:
1) Berikan
keterbukaan untuk membicarakan masalah inkontinensia dan fungsi seksual
Rasional : Dapat mengalami
ansietas tentang efek bedah dan dapat menyembunyikan pertanyaan yang
diperlukan. Ansietas dapat mempengaruhi kemampuan untuk menerima informasi yang
diberikan sebelumnya.
2) Berikan
informasi akurat tentang harapan kembalinya fungsi seksual
Rasional : Impotensi
fisiologis dapat terjadi selama prosedur radikal.
3) Diskusikan
dasar anatomi, jujur dalam menjawab pertanyaan pasien
Rasional : Syaraf fleksus
mengontrol aliran darah ke prostat melalui kapsul. Pada prosedur yang tidak
melibatkan kapsul prostat impotent dan sterilitas biasanya tidak menjadi
konsekuensi. Prosedur bedah mungkin tidak memberikan pengobatan permanen dan
hipertropi dapat berulang.
4) Kolaborasi:
rujuk ke penasehat seksual sesuai indikasi
Rasional : Masalah
menetap atau tidak teratasi memerlukan intervensi profesional.
h. Kurang
perawatan diri; mandi/hygiene berhubungan dengan keterbatasan gerak sekunder
terhadap imobilisasi (Carpenito, 2000, hal 324)
Kriteria
hasil: mendemonstrasikan kebersihan diri yang optimal
Rencana
intervensi:
1) Kaji
faktor penyebab dan penyulit
Rasional : Mencari
penyebab kurang perawatan diri menentukan jenis bantuan yang diberikan pada
pasien
2) Tingkatkan
partisipasi optimal
Rasional : Keterlibatan
pasien dalam merawat dirinya sendiri meningkatkan rasa percaya diri dan
semangat hidup dan lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
3) Bantu
dalam perawatan diri sesuai indikasi
Rasional : Bantuan
yang diberikan akan mampu memenuhi kebutuhan perawatan diri.
4) Berikan
reinforcement positif atas kemampuan yang dicapai selama aktivitas
Rasional : Memberikan
rasa percaya diri dan memberikan harga diri
5) Evaluasi
kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas
Rasional : Partisipasi
yang maksimal dapat dievaluasi sehingga bantuan yang diberikan sesuai dengan
kebutuhan
i. Kurang
pengetahuan; kebutuhan belajar tentang kondisi/situasi prognosis, kebutuhan
pengobatan yang berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi,
keterbatasan kognitif (Doengoes, 2000, hal 684)
Kriteria
hasil:
1) Menyatakan
pemahaman prosedur bedah
2) Berpartisipasi
dalam program pengobatan
Rencana
intervensi:
1) Kaji
implikasi prosedur dan harapan masa depan
Rasional : Memberikan
dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi.
2) Tekankan
perlunya nutrisi yang baik, dorong konsumsi buah-buahan, meningkatkan diit
tinggi serat
Rasional : Meningkatkan
penyembuhan dan mencegah komplikasi serta menurunkan resiko perdarahan pasca
operasi
3) Diskusikan
pembatasan aktivitas
Rasional : Peningkatan
tekanan abdominal yang menempatkan stress pada kandung kemih dan prostat
menimbulkan resiko perdarahan
4) Berikan
gambaran atau penjelasan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan
Rasional : Lakukan
penyuluhan kesehatan sesuai SAP yang berdasarkan pada kebutuhan informasi dari
pasien.
5) Instruksikan
perawatan lanjut atau kontrol
Rasional : Tindak lanjut
untuk perawatan luka, pengangkatan jahitan dilakukan tenaga terlatih, dan kebutuhan
pengobatan dapat disesuaikan dengan kondisi lukanya.
No comments:
Post a Comment